
Pendidikan di perguruan tinggi Islam terus mengalami transformasi seiring perkembangan zaman. Pergeseran paradigma dalam pendekatan pembelajaran—dari pedagogi menuju andragogi hingga heutagogi—menjadi penting untuk dibahas. Transformasi ini bukan sekadar perubahan metode, melainkan langkah strategis untuk memenuhi kebutuhan zaman yang menuntut lulusan tidak hanya cakap secara intelektual, tetapi juga memiliki keterampilan berpikir kritis, mandiri, dan adaptif.
1. Pedagogy: Titik Awal Pendidikan Formal
Pedagogi adalah pendekatan pendidikan tradisional yang berpusat pada guru. Dalam pedagogi, guru dianggap sebagai sumber utama pengetahuan, sementara siswa cenderung dipandang sebagai penerima pasif. Model ini telah menjadi landasan pendidikan sejak lama, termasuk di perguruan tinggi Islam.
Dalam konteks perguruan tinggi Islam, pendekatan pedagogi sering digunakan dalam pengajaran ilmu-ilmu agama seperti tafsir, fiqh, dan hadits. Pengajaran dilakukan secara hierarkis, dengan dosen menyampaikan materi, sementara mahasiswa mendengarkan dan mencatat. Meskipun efektif untuk transmisi pengetahuan, pendekatan ini seringkali kurang memberikan ruang bagi mahasiswa untuk berpikir kritis atau mengeksplorasi ide-ide baru.
Namun, Al-Qur’an mengajarkan pentingnya proses belajar yang tidak hanya didasarkan pada hafalan, tetapi juga pemahaman mendalam. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra: 36)
Ayat ini menegaskan pentingnya memahami dan menginternalisasi ilmu, yang seharusnya menjadi refleksi dalam pendekatan pendidikan.
2. Andragogy: Belajar untuk Orang Dewasa
Berbeda dengan pedagogi, andragogi adalah pendekatan pembelajaran yang dirancang untuk orang dewasa. Dalam konteks ini, mahasiswa dianggap sebagai individu yang memiliki pengalaman dan latar belakang yang dapat dijadikan sumber pembelajaran. Pendekatan ini relevan di perguruan tinggi Islam, di mana mahasiswa tidak lagi dianggap sebagai anak-anak, tetapi sebagai individu dewasa yang memiliki kemampuan berpikir kritis.
Andragogi mendorong interaksi aktif antara dosen dan mahasiswa. Mahasiswa dilibatkan dalam diskusi, debat, dan penyelesaian masalah. Pendekatan ini memungkinkan mahasiswa untuk memahami bagaimana ilmu agama dapat diterapkan dalam konteks kehidupan nyata. Misalnya, dalam mata kuliah etika Islam, mahasiswa diajak berdiskusi tentang tantangan moral di era digital, sehingga pembelajaran menjadi relevan dan kontekstual.
Al-Qur’an juga mendukung pendekatan yang mengutamakan partisipasi aktif dan berpikir kritis. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi…” (QS. Ali ‘Imran: 190-191)
Ayat ini mengisyaratkan pentingnya berpikir kritis dan refleksi mendalam, yang menjadi bagian utama dalam pembelajaran orang dewasa (andragogy).
3. Heutagogy: Pendidikan Mandiri di Era Digital
Paradigma terbaru dalam pendidikan adalah heutagogi, yaitu pendekatan pembelajaran yang menempatkan mahasiswa sebagai pembelajar mandiri. Dalam heutagogi, mahasiswa tidak hanya belajar dari dosen, tetapi juga memiliki otonomi penuh untuk menentukan apa yang ingin mereka pelajari, bagaimana mereka mempelajarinya, dan cara mereka menerapkannya.
Pendekatan ini menjadi sangat relevan di era digital, di mana akses informasi sangat mudah. Mahasiswa perguruan tinggi Islam, misalnya, dapat memanfaatkan teknologi untuk mempelajari topik-topik seperti filsafat Islam, ekonomi syariah, atau dakwah digital melalui sumber daya online, forum diskusi, atau platform pembelajaran daring.
Pendekatan heutagogi mendorong mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan belajar sepanjang hayat (lifelong learning). Ini sejalan dengan semangat Al-Qur’an yang mendorong umat Islam untuk terus belajar. Allah SWT berfirman:
“Dan katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.’” (QS. Taha: 114)
Ayat ini menegaskan bahwa proses belajar adalah perjalanan tanpa akhir, yang membutuhkan kemandirian dan komitmen pribadi untuk terus berkembang.
4. Implementasi Pergeseran Paradigma di Perguruan Tinggi Islam
Pergeseran dari pedagogi ke andragogi, dan akhirnya ke heutagogi, membutuhkan upaya yang serius dari perguruan tinggi Islam. Berikut adalah beberapa langkah strategis yang dapat diambil:
- Pengembangan Kurikulum Fleksibel
Kurikulum harus dirancang untuk memberikan kebebasan kepada mahasiswa dalam memilih mata kuliah yang sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka. - Pemanfaatan Teknologi Digital
Perguruan tinggi Islam dapat mengintegrasikan teknologi dalam proses pembelajaran, seperti platform e-learning, webinar, dan sumber daya digital lainnya. - Pelatihan Dosen
Dosen perlu dilatih untuk mengadopsi peran sebagai fasilitator dan mentor, bukan sekadar penyampai informasi. - Kolaborasi Antar Disiplin
Pendekatan interdisipliner dapat membantu mahasiswa melihat hubungan antara ilmu agama dan ilmu duniawi, sehingga pembelajaran menjadi lebih holistik.
5. Tantangan dan Solusi
Meskipun transformasi paradigma ini menjanjikan banyak manfaat, ada sejumlah tantangan yang harus diatasi, seperti:
- Resistensi terhadap Perubahan: Beberapa pihak mungkin merasa nyaman dengan pendekatan tradisional dan enggan berubah. Solusinya adalah dengan memberikan pemahaman tentang manfaat perubahan ini.
- Keterbatasan Infrastruktur: Tidak semua perguruan tinggi memiliki akses ke teknologi canggih. Solusi alternatif adalah dengan memanfaatkan teknologi sederhana yang terjangkau.
- Kesenjangan Keterampilan Dosen: Pelatihan intensif dan berkelanjutan dapat membantu dosen beradaptasi dengan paradigma baru.
Kesimpulan
Pergeseran paradigma dari pedagogi ke andragogi hingga heutagogi merupakan kebutuhan mendesak bagi perguruan tinggi Islam untuk menjawab tantangan zaman. Pendekatan-pendekatan ini tidak hanya meningkatkan kualitas pembelajaran, tetapi juga sejalan dengan semangat Al-Qur’an yang mendorong pembelajaran mendalam, relevan, dan berkelanjutan.
Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip ini, perguruan tinggi Islam dapat melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga mandiri, kreatif, dan siap menghadapi dinamika global dengan tetap berpegang pada nilai-nilai Islam.